Sejarah terbentuknya wonogiri -->

Sejarah terbentuknya wonogiri

,
Sejarah terbentuknya wonogiri , sejarah berdirinya kabupaten wonogiri tidak bisa terlepas dari perjalanan hidup dan perjuangan seorang Raden Mas Said atau yang dikenal dengan julukan Pangeran Sambernyawa.
Asal usul kata Wonogiri sendiri ini berasal dari bahasa Jawa yang terdiri dari 2 kata yaitu Wono dan Giri
yang artinya Wono artinya alas / hutan / sawah dan Giri Artinya gunung / pegunungan , jadi dahulu WonoGiri ini  kondisi struktur wilayahnya mayoritas hutan dan gunung oleh karena itu di namakan menjadi wonogiri

Pemerintahan di Kabupaten Wonogiri awal mulanya merupakan daerah basis perjuangan dari Raden Mas Said dalam melawan penjajahan Belanda.
Raden Mas Said sendiri lahir di Kartosuro pada hari Minggu Legi, tanggal 4 Ruwah 1650 tahun Jimakir, Windu Adi Wuku Wariagung, atau bertepatan dengan tanggal Masehi 8 April 1725.
Raden Mas Said merupakan putra dari Kanjeng Pangeran Aryo Mangkunegoro dan Raden Ayu Wulan yang wafat saat melahirkannya.

sejarah terbentuknya wonogiri

Memasuki usia dua tahun, Raden Mas Said harus kehilangan ayahandanya karena dibuang oleh Belanda ke Tanah Kaap (Ceylon) atau Srilanka. Hal itu karena ulah keji berupa fitnah dari Kanjeng Ratu dan Patih Danurejo. Akibatnya, Raden Mas Said mengalami masa kecil yang jauh dari selayaknya seorang bangsawan Keraton.
Raden Mas Said menghabiskan masa kecil nya bersama anak-anak para abdi dalem lainnya sehingga Raden Mas sahid mengerti betul bagaimana kehidupan kawula alit ( rakyat jelata )
Dari situlah Raden mas sahid bisa mengambil hikmahnya hingga Raden mas sahid bisa menjadi seorang yang mempunyai sifat rasa peduli terhadap sesama manusia

Pada suatu saat terjadi peristiwa yang membuat Raden Mas Said resah, karena di Keraton terjadi ketidakadilan yang dilakukan oleh Raja (Paku Buwono II) yang menempatkan Raden Mas Said hanya sebagai Gandhek Anom (Manteri Anom) atau sejajar dengan Abdi Dalem Manteri , Padahal sesuai dengan derajat dan kedudukan, Raden Mas Said seharusnya menjadi Pangeran Sentana.

Melihat hal ini, Raden Mas Said ingin mengadukan ketidakadilan kepada sang Raja, akan tetapi pada saat di Keraton oleh sang Patih Kartasura ditanggapi dingin. Dan dengan tidak berkata apa-apa sang Patih memberikan sekantong emas kepada Raden Mas Said. Perilaku sang Patih ini membuat Raden Mas Said malu dan sangat marah, karena beliau ingin menuntut keadilan bukan untuk mengemis.

Selanjutnya Raden Mas Said bersama pamannya Ki Wiradiwangsa dan Raden Sutawijaya yang mengalami nasib yang sama, mengadakan perundingan untuk membicarakan ketidakadilan yang menimpa mereka. Akhirnya Raden Mas Said memutuskan untuk keluar dari keraton dan mengadakan perlawanan terhadap Raja.

Lalu Raden Mas Said bersama pengikutnya mulai mengembara mencari suatu daerah yang aman untuk menyusun kekuatan.
Hingga Raden Mas Said bersama para pengikutnya sampai di suatu daerah dan mulai menggelar pertemuan-pertemuan untuk menghimpun kembali kekuatan dan mendirikan sebuah pemerintahan walaupun pemerintahan yang di dirikan masih sangat sederhana, Peristiwa itu terjadi pada hari Rabu Kliwon tanggal 3 Rabiulawal (Maulud) tahun Jumakir windu Sengoro, dengan candra sengkala Angrasa Retu Ngoyag Jagad atau tahun 1666 dalam kalender Jawa. dan dalam perhitungan kalender Masehi bertepatan dengan hari Rabu Kliwon tanggal 19 Mei 1741 M.

Daerah yang dituju Raden Mas Said waktu itu adalah dusun Nglaroh (wilayah Kecamatan Selogiri), dan disana Raden Mas Said menggunakan sebuah batu untuk menyusun strategi melawan ketidakadilan. Batu ini di kemudian hari dikenal sebagai Watu Gilang yang merupakan tempat awal mula perjuangan Raden Mas Said dalam melawan ketidakadilan dan segala bentuk penjajahan. Bersama dengan pengikut setianya, lalu dibentuklah pasukan inti kemudian berkembang menjadi perwira-perwira perang yang mumpuni dengan sebutan Punggowo Baku Kawandoso Joyo.
dukungan dari rakyat Nglaroh kepada perjuangan Raden Mas Said saat itu juga sangat tinggi yang disesepuhi oleh Kyai Wiradiwangsa yang diangkat sebagai Patih. dari situlah awal mula suatu bentuk pemerintahan yang akirnya menjadi cikal bakal Kabupaten Wonogiri.

Dalam mengendalikan perjuangannya, Raden Mas Said mengeluarkan semboyan yang sudah menjadi ikrar sehidup semati yang terkenal dengan sumpah “Kawulo Gusti” atau “Pamoring Kawulo Gusti” sebagai pengikat tali batin antara pemimpin dengan rakyatnya, luluh dalam kata dan perbuatan, maju dalam derap yang serasi bagaikan keluarga besar yang sulit dicerai-beraikan musuh. Ikrar tersebut berbunyi “Tiji tibeh, Mati Siji Mati Kabeh, Mukti Siji Mukti Kabeh” ( Tiji tibeh Mati satu Mati semua hidup satu hidup semua ) Ini adalah konsep kebersamaan antara pimpinan dan rakyat yang dipimpin maupun sesama rakyat.
Raden Mas Said juga menciptakan suatu konsep manajemen pemerintahan yang dikenal sebagai Tri Darma yaitu :

1. Mulat Sarira Hangrasa Wani, artinya berani mati dalam pertempuran karena dalam pertempuran hanya ada dua pilihan hidup atau mati. Berani bertindak menghadapi cobaan dan tantangan meski dalam kenyataan berat untuk dilaksanakan. Sebaliknya, disaat menerima anugerah baik berupa harta benda atau anugerah lain, harus diterima dengan cara yang wajar. Hangrasa Wani, mau berbagi bahagia dengan orang lain.

2. Rumangsa Melu Handarbeni, artinya merasa ikut memiliki daerahnya, tertanam dalam sanubari yang terdalam, sehingga pada akhirnya pada akhirnya akan menimbulkan perasaan rela berjuang dan bekerja untuk daerahnya. Merawat dan melestarikan kekayaan yang terkandung didalamnya.

3. Wajib Melu Hangrungkebi, artinya dengan merasa ikut memiliki timbul kesadaran untuk berjuang hingga titik darah penghabisan untuk tanah kelahirannya.

Kegigihan Raden Mas Said dalam memerangi musuh-musuhnya sudah tidak diragukan lagi, bahkan hanya dengan prajurit yang jumlahnya sedikit, tidak akan gentar melawan musuh.

Raden Mas Said merupakan panglima perang yang mumpuni, terbukti selama hidupnya sudah melakukan tidak kurang 250 kali pertempuran dengan tidak menderita kekalahan yang berarti. Dari sinilah Raden Mas Said mendapat julukan “Pangeran Sambernyawa” karena dianggap sebagai penebar maut (Penyambar Nyawa) bagi siapa saja musuhnya pada setiap pertempuran.

Berkat keuletan dan ketangguhan Raden Mas Said dalam taktik pertempuran dan bergerilya sehingga luas wilayah perjuangannya meluas meliputi Ponorogo, Madiun dan Rembang bahkan sampai daerah Yogyakarta. Pada akhirnya atas bujukan Sunan Paku Buwono III, Raden Mas Said bersedia diajak ke meja perundingan guna mengakhiri pertempuran.

Dalam perundingan yang melibatkan Sunan Paku Buwono III, Sultan Hamengkubuwono I dan pihak Kompeni Belanda, disepakati bahwa Raden Mas Said mendapat daerah kekuasaan dan diangkat sebagai Adipati Miji atau mandiri bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegoro I. Penetapan wilayah kekuasaan Raden Mas Said terjadi pada tanggal 17 Maret 1757 melalui sebuah perjanjian di daerah Salatiga. Kedudukannya sebagai Adipati Miji sejajar dengan kedudukan Sunan Paku Buwono III dan Sultan Hamengkubuwono I dengan daerah kekuasaan meliputi wilayah Keduwang (daerah Wonogiri bagian timur), Honggobayan (daerah timur laut Kota Wonogiri sampai perbatasan Jatipurno dan Jumapolo Kabupaten Karanganyar), Sembuyan (daerah sekitar Wuryantoro dan Baturetno), Matesih, dan Gunung Kidul.

KGPAA Mangkunegoro I membagi wilayah Kabupaten Wonogiri menjadi 5 (lima) daerah yang masing-masing memiliki ciri khas atau karakteristik yang digunakan sebagai metode dalam menyusun strategi kepemimpinan, yaitu :

1. Daerah Nglaroh (wilayah Wonogiri bagian utara, sekarang masuk wilayah kecamatan Selogiri). Sifat rakyat daerah ini adalah Bandol Ngrompol yang berarti kuat dari segi rohani dan jasmani, memiliki sifat bergerombol atau berkumpul. Karakteritik ini sangat positif dalam kaitannya untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Rakyat di daerah Nglaroh juga bersifat pemberani, suka berkelahi, membuat keributan akan tetapi jika bisa memanfaatkan potensi rakyat Nglaroh bisa menjadi kekuatan dasar yang kuat untuk perjuangan.

2. Daerah Sembuyan (wilayah Wonogiri bagian selatan sekarang Baturetno dan Wuryantoro), mempunyai karakter sebagai Kutuk Kalung Kendho yang berarti bersifat penurut, mudah diperintah pimpinan atau mempunyai sifat paternalistik.

3. Daerah Wiroko (wilayah sepanjang Kali Wiroko atau bagian tenggara Kabupaten Wonogiri sekarang masuk wilayah Kecamatan Tirtomoyo). Masyarakat didaerah ini mempunyai karakter sebagai Kethek Saranggon, mempunyai kemiripan seperti sifat kera yang suka hidup bergerombol, sulit diatur, mudah tersinggung dan kurang memperhatikan tata krama sopan santun. Jika didekati mereka kadang kurang mau menghargai orang lain, tetapi jika dijauhi mereka akan sakit hati. Istilahnya gampang-gampang susah.

4. Daerah Keduwang (wilayah Wonogiri bagian timur) masyarakatnya mempunyai karakter sebagai Lemah Bang Gineblegan. Sifat ini bagai tanah liat yang bisa padat dan dapat dibentuk jika ditepuk-tepuk. Masyarakat daerah ini suka berfoya-foya, boros dan sulit untuk melaksanakan perintah. Akan tetapi bagi seorang pemimpin yang tahu dan paham karakter sifat dan karakteristik mereka, ibarat mampu menepuk-nepuk layaknya sifat tanah liat, maka mereka akan mudah diarahkan ke hal yang bermanfaat.

5. Daerah Honggobayan (daerah timur laut Kota Wonogiri sampai perbatasan Jatipurno dan Jumapolo Kabupaten Karanganyar) mempunyai karakter seperti Asu Galak Ora Nyathek. Karakteristik masyarakat disini diibaratkan anjing buas yang suka menggonggong akan tetapi tidak suka menggigit. Sepintas dilihat dari tutur kata dan bahasanya, masyarakat Honggobayan memang kasar dan keras menampakkan sifat sombong dan congkak serta tinggi hati, dan yang terkesan adalah sifat kasar menakutkan. Akan tetapi mereka sebenarnya baik hati, perintah pimpinan akan dikerjakan dengan penuh tanggungjawab.

Dengan memahami karakter daerah-daerah tersebut, Raden Mas Said menerapkan cara yang berbeda dalam memerintah dan mengendalikan rakyat diwilayah kekuasaannya, menggali potensi yang maksimal demi kemajuan dalam membangun wilayah tersebut. Raden Mas Said memerintah selama kurang lebih 40 tahun dan wafat pada tanggal 28 Desember 1795.

Setelah Raden Mas Said meninggal dunia, kekuasaan trah Mangkunegaran diteruskan oleh putra-putra beliau. Pada masa kekuasaan KGPAA Mangkunegara VII terjadi peristiwa penting sekitar tahun 1923 Masehi yakni perubahan status daerah Wonogiri yang dahulu hanya berstatus Kawedanan menjadi Kabupaten. Saat itu Wedana Gunung Ngabehi Warso Adiningrat diangkat menjadi Bupati Wonogiri dengan pangkat Tumenggung Warso Adiningrat. Akibat perubahan status ini, wilayah Wonogiri pun dibagi menjadi 5 Kawedanan yaitu Kawedanan Wonogiri, Wuryantoro, Baturetno, Jatisrono dan Purwantoro.

Pada saat itu di wilayah kekuasaan Mangkunegaran dilakukan penghematan anggaran keraton dengan menghapuskan sebagian wilayah Kabupaten yaitu Kabupaten Karanganyar sehingga wilayah Mangkunegaran manjadi dua yaitu Kabupaten Mangkunegaran dan Kabupaten Wonogiri. Ini berlangsung sampai tahun 1946.

Dalam perkembangannya, rakyat Wonogiri pada masa pendudukan Jepang dan tentara sekutu, bersama-sama dengan rakyat Indonesia pada umumnya tidak bisa dilepaskan dari penderitaan dan kekejaman penjajahan. Rakyat Wonogiri bersama dengan rakyat Indonesia tergugah dan bersatu padu melawan segala bentuk penindasan yang dilakukan oleh bangsa Belanda maupun Jepang. Semangat pemuda Wonogiri yang tidak kenal menyerah dan ulet seakan telah menjadi karakter tersendiri dalam berjuang memperbaiki nasib dan taraf kehidupan.

Sejak Republik Indonesia merdeka, tanggal 17 Agustus 1945 sampai tahun 1946 di wilayah Mangkunegaran terjadi dualisme pemerintahan, yaitu Kabupaten Wonogiri masih dalam wilayah monarki Mangkunegaran dan di lain pihak menginginkan Kabupaten Wonogiri masuk dalam sistem demokrasi Republik Indonesia. Lalu Timbulah gerakan Anti Swapraja yang menginginkan Wonogiri keluar dari sistem kerajaan Mangkunegaran. Akhirnya disepakati bahwa Kabupaten Wonogiri tidak menghendaki kembalinya Swapraja Mangkunegaran.

Sejak saat itu Kabupaten Wonogiri mempunyai status seperti sekarang, dan masuk sebagai Kabupaten yang berada diwilayah Propinsi Jawa Tengah. Berikut adalah nama Bupati Wonogiri setelah masa kemerdekaan :

Soetojo Hardjo Reksono (1946-1948)
R. Danupranoto (1948-1950)
R. Agus Miftah Danoekoesoemo (1950-1953)
Yacop Danoeatmojo (1958-1959)
RM Ng. Broto (1960-1966)
R. SAmino (1967-1974)
KRMH. Soemoharmoyo (1974-1979)
Drs. Agoes Soemadi (1979-1980)
R. Soediharto (1980-1985)
Drs. Oemarsono (1985-1995)
Drs. Tjuk Susilo (1995-2000)
H. Begug Poernomosidi (2000-2010)
H. Danar Rahmanto (2010-2015)

Demikianlah sejarah awal terbentuknya wonogiri sebuah kabupaten paling timur di propinsi jawa tengah indonesia



TerPopuler